Oleh: KH. Nurcholis Misbah
Dunia ini kecil, sementara, rusak, menipu. Apalagi bumi yang kita tempati, layaknya sebutir ‘kedelai’ jika kita jajarkan dengan planet-planet lain. Tapi kesalahan berpikir, dunia menjadi begitu besar bahkan kebesaran-Nya mengalahkan keagungan Tuhan. Untuk dunia, manusia bisa melakukan apa saja, menghalalkan segala cara. Jika ada seekor harimau dilepaskan dalam kumpulan kambing, kerusakanya jauh lebih kecil dari kehancuran yang diakibatkan seorang yang serakah, cinta dunia dan kedudukan.
Kecintaan terhadap dunia memenuhi ‘ruang hati’, bagaimana mungkin mata hati bisa cemerlang memandang hakikat ketika gambar dunia memenuhi jiwa, begitu kata guru kita Athoillah asy-Syakandari. Serakah menjadi penyakit sosial, yang tak tahu lagi ke mana berobat. Ulama, para pemuka agama, cendekiawan, yang kita harap memandu bangsa juga ikut tenggelam dalam laut dunia, memanjakan diri dalam kekuasaan dan kemewahan. Mereka tercerabut dari habitatnya, dan kehilangan kewibawaan.
Bagaimana mungkin negeri yang dihuni umat beragama dan sebagian besar muslim. Negeri yang katanya potongan surga, ibarat tongkat dilempar akan tumbuh dan berbuah. Aneka sumber dalam tersimpan dalam perut bumi, yang membuat bangsa lain iri. Tapi rakyatnya menderita, korupsi merajalela, keadilan hanya ada dalam angan-angan. Rakyat yang melaporkan kehilangan satu sapi, justru sapi yang lain ikut lenyap untuk biaya pencarian.
Bupati, wali kota, gubernur bahkan presiden, bukan sesuatu yang “menentukan”. Siapa pun pemimpinya, rakyat harus bekerja, banting tulang, sabar menghadapi berbagai kesulitan. Ekonomi harian, biaya anak sekolah, biaya kesehatan dan aneka kebutuhan lain. Pemimpin bekerja untuk mewujudkan janji-janjinya selama kampanye, tapi hanya sedikit yang terealisasi. Janji tinggal janji, rakyat yang dipuja-puja, didatangi rumahnya, digenggam tangannya, tetap harus berjibaku dengan hidupnya semula.
Petani membuang-buang hasil panen tomatnya, membabat tanaman cabenya, membuang susu sapi di jalanan, seakan acara rutin tahunan. Panen layaknya hantu, petani berharap harga bagus, dan meraup untung tapi seringkali harga turun, jadi buntung. Ke mana pemerintah yang dengan gagah mengatasnamakan rakyat? Ia mewakafkan waktu, harta dan hidupnya untuk meningkatkan kesejahteraan, dan menegakkan keadilan untuk rakyat. Ke mana mereka? Tahu-tahu ada berita, satu-persatu tertangkap KPK atau digelandang kejaksaan.
Musim tak lagi teratur, menanam padi dihantui kekurangan air, irigasi tidak menjadi perhatian, banyak yang rusak,pupuk langka dan mahal, banjir mendadak tiba dan menenggelamkan segalanya, menghanyutkan ikan-ikan di tambak, atau hujan tak lagi turun, kekeringan melanda, segala tanaman mati tanpa air, tanah pecah-pecah tak bisa ditanami, sapi-sapi dan kambing tak mendapat makanan yang cukup, petani termangu di tengah sawah bagaimana harus membayar hutang untuk biaya garap sawah.
Musim tanam tiba, air mulai menggenangi kebun dan sawah, petani kembali bingung, tak ada uang untuk biaya bajak, bibit, tanam, obat , pupuk, dan lain-lain. Pinjam bank sulit, aneka syarat sering tak bisa dipenuhi petani. Pinjol solusinya, mudah, cepat, tanpa agunan, tapi petani harus membayar bunga berlipat, tak seimbang dengan hasil tanaman jagung, padi atau palawija mereka. Belum lagi mendadak harga-harga turun. Petani yang diharapkan menjadi penjaga “swasembada” pangan, tersedia dan mudah, terus-menerus harus berkorban, dari dahulu hingga sekarang, dan sampai kapan Allah yang mengetahui?
Mereka tak punya harapan, bahkan “mimpi “ tidak berani. Anak-anak tumbuh kekurangan gizi, lemah tubuh, lemah akal, yang dilarang agama. Judi seakan menumbuhkan harapan, apalagi bisa dilakukan di rumah, di kamar, tanpa ada orang lain. Awalnya iseng, lama-kelamaan mencandu, sekali menang, dan puluhan kali kalah. Satu-persatu hartanya terjual, bahkan satu-satunya gantungan hidup “sawah ladang” ikut tergadai atau terjual. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tanpa guna.
Presiden baru membuat gebrakan, 100 hari pertama, berantas judi, buru korupsi, miskinkan koruptor, habisi mafia peradilan mafia tanah, mafia tambang. Polisi bergerak, kejaksaan bekerja, KPK bangkit, banyak harta negara diselamatkan, koruptor, mafia, makelar ditangkap dan diproses. Kita heran, kemarin-kemarin kok gak kelihatan ya? Persoalanya, sampai kapan presiden bisa menjaga konsistensi, khawatir hanya “hangat-hangat tahi ayam”. Setelah seratus hari, lemah syahwat korupsi bangkit, lebih dahsyat, dan rakyat makin tenggelam. Harapan kita tidak, tapi pengalaman mengajarkan, semangat anti korupsi, kolusi, nepotism dan semacamnya hanya sementara, pencitraan.
Untuk jabatan, kita menanam kebencian, dusta, fitnah berita dusta, rekayasa yang membuat kehilangan harga diri. Suami istri bercerai karena beda pilihan, orang tua dan anak bertikai, tetangga pindah rumah, teman bertengkar dan memutus silaturahmi, bahkan saling bunuh. Untuk jabatan, tega menebar racun “suap”. Mustahil orang terbaik jadi pemimpin tanpa ‘ISI TAS’, mereka yang punya uang atau didukung pemilik uang akan jadi pemimpin kendati tanpa kredibilitas, integritas, kapabilitas. Ketika jadi pemimpin bukan rakyat perhatianya, tapi membayar hutang budi, dan mencicil pinjaman.
Cinta dunia, serakah, bukan hanya menimpa orang biasa, para cerdik pandai, cendekiawan, alim ulama. Bahkan, orang yang telah memilih jalan syurga, mengikuti ‘thoriqoh’, hari-harinya belajar berwirid dan berzikir, mereka terjebak dalam rebutan jabatan dalam thoriqoh. Saling berencana untuk membuat mu’tamar menguatkan diri dan kelompoknya dan mengabaikan yang lain. Fakta ini menurut saya jauh dari memprihatinkan tapi malah “menimbulkan tawa” yang tidak habis-habis. Sekali lagi jabatan apa pun, termasuk jabatan organisasi jamaah thoriqoh mu’tabaroh, adalah dunia. Jangan membeli dunia terlalu mahal.