(Achmad Muwafiq Setiawan)
Sebuah postingan seseorang yang muncul di timeline akun Instagram saya begitu membekas di kepala saat pertama kali membacanya. Postingan tersebut berisi sebuah tulisan:
“Tidak ada cara lain untuk membuat anak kita pintar dan suka membaca buku kecuali kita membacakan sebuah buku setiap malam menjelang ia tidur.”
Seberapa banyak dan bagus buku yang kita belikan untuk anak, semuanya tidak akan memberikan efek apa-apa jika kita sendiri tidak mau atau tidak sempat membacakan buku untuk mereka.
Saya merasa sangat tertampar membaca pernyataan tersebut. Sejak anak pertama saya menginjak usia satu tahun, saya suka membelikannya buku khusus balita. Sekarang, usia anak pertama saya beranjak tujuh tahun, dan ia memiliki seorang adik perempuan yang berusia tiga tahun. Hampir setiap tahun, saya dan istri sering mengajak anak-anak mengunjungi pameran buku yang diadakan di Surabaya. Ada pameran Big Bad Wolf yang rutin digelar di Jatim International Expo (JIE) Jemur Wonosari, pameran buku dari Patjar Boekoe, atau pameran-pameran lainnya. Dari pameran-pameran tersebut, kami membeli banyak buku untuk anak-anak.
Selain itu, kami juga sering membawa mereka bermain ke toko buku, baik Gramedia maupun Togamas. Sesekali, saya juga mengajak keluarga mengunjungi toko buku bekas. Kini, rak buku yang kami sediakan khusus untuk buku-buku anak sudah hampir penuh. Bahkan, anak pertama saya beberapa kali mengeluhkan bahwa rak bukunya sudah terlalu sesak.
Namun, dengan koleksi buku yang menurut saya sudah cukup banyak, jujur saja, waktu yang saya luangkan untuk menemani anak membaca buku sangat minim. Tentu saya sangat menyesali hal ini. Beberapa kali, istri saya juga mengingatkan agar saya menyisihkan waktu untuk membacakan buku kepada anak-anak.
Pada suatu malam di hari Minggu, saya akhirnya mencoba meluangkan waktu untuk membacakan buku bagi anak-anak. Saya mengambil sebuah buku dan membacakannya untuk anak kedua saya. Awalnya, ia meminta saya mengambilkan buku cerita Cinderella kesukaannya. Saya mengambilkan buku tersebut dan mulai membacakan ceritanya. Meskipun ia masih berusia tiga tahun dan mungkin belum sepenuhnya memahami isi cerita, ia terlihat sangat menikmati jalan ceritanya. Terlebih ketika Cinderella mendapatkan gaun baru berwarna biru dari ibu peri, kedua bola matanya berbinar-binar penuh kebahagiaan.
Setelah selesai membacakan buku untuk si adik, anak pertama saya datang sambil membawa buku Funny Farm Animals, yang berisi dongeng tentang hewan di sebuah peternakan milik Pak Bagong. Ada tiga cerita yang saya bacakan malam itu, dan si kakak terlihat sangat antusias. Ia bahkan beberapa kali bertanya tentang hal-hal yang belum dipahaminya dari cerita tersebut.
Meskipun buku dongeng itu berisi banyak cerita, saya hanya membacakan tiga kisah saja malam itu, agar cerita lainnya bisa dilanjutkan di malam berikutnya. Rasanya sangat menyenangkan melihat anak-anak menikmati cerita dari buku yang saya bacakan. Dan yang lebih membahagiakan lagi, saya bisa meluangkan waktu untuk mereka.
Semoga kebiasaan ini bisa saya lakukan secara konsisten setiap malam, demi mengembangkan kecintaan anak-anak terhadap buku dan dunia membaca. Karena seperti isi postingan di Instagram yang saya baca di atas, “Tidak ada cara lain untuk membuat anak kita pintar dan suka membaca buku kecuali kita membacakan sebuah buku setiap malam menjelang ia tidur.”. Memupuk kecintaan anak terhadap buku memang harus dimulai sejak dari rumah. (A.M.S)