Oleh : Nurcholis Misbah
Al-Ghazali , dalam kitab “Ihya” juz pertama, menjelaskan tentang keutamaan ilmu, pentingnya mengajar dan belajar disertai argumentasi yang tak terbantah, naqly juga aqly. Ulama adalah “pewaris nabi saw”, ia harus memenuhi kualitas “khasyah dan keilmuan” (QS.al-Fatir 28). Allah SWT akan mengangkat derajat seseorang, lahir batin, dunia akhirat, ketika memenuhi syarat yaitu “iman dan yang diberikan ilmu”. Ketika Alloh menhendaki kebaikan pada seseorang, ia akan diberi anugerah ilmu, dengan itu ia bisa memahami agamanya(Muttafaq Alaih). Seagala yang ada dilangit dan bumi memintakan ampun bagi orang berilmu (HR. Abu Darda’),
Begitu mulia ilmu, Allah SWT menghasung agar ada diantara kita bersungguh-sungguh dalam mendalami satu ilmu (QS. At-Taubah 122).. Nabi saw bersabda, “pencari ilmu layaknya berjalan menuju Allah, dan dimudahkan jalan ke syurga” (HR. Muslim). Dan para Malaikat membentangkan sayapnya, karena suka terhadap para pencari ilmu (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, al-hakim). Anda pencari ilmu meninggal, dan ia sedang dalam suasana belajar, maka antara dia dan para nabi hanya berjarak satu derajat dana syurga, begitu sabda nabi saw (HR. Ad-Darimi dan Ibn as- Suni).
Maka “mengajar” adalah profesi yang sangat mulia. “Sesungguhnya Allah SWT memberikan rahmat, Malaikat-Malaikat Nya, penghuni langit dan bumi, hingga semut dalam liangnya dan ikan dilautan, semuanya memintakan berkah dan rahmat, kepada orang yang mengajarkan kebaikan pada manusia”(HR. Tirmidzi). Orang yang mengajar kebaikan dinamai “khalifah Nya”, dan Allah memberikan rahmat untuknya.
Ilmu yang terpuji dan tercela, karena itu mencarinya ada yang berhukum fardlu ada juga yang haram. Yang fardlu ada yang kifayah ada juga yang ain. Maka kita juga harus mencari ilmu dengan memilih yang paling penting. Dan ilmu terpenting adalah “ilmu tauhid”. Dengan dasar yang kuat, kita bisa memanfaatkan ilmu sebagai jalan untuk “mengesakan Nya, mengenalNya, dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Nya.
Banyak pencari ilmu, salah prioritas, tak memiliki pondasi yang kokoh, akibatnya justru menjauh dari Tuhan, menumbuhkan kecongkakan, dan akhirnya mengingkari Nya (Na’udzu billah). Ilmu Tauhid mengajar, “penguasa semesta Alam adalah Alloh SWT, Dia menggenggam segala urusan, menentukan segala sesuatu atas atas kehendak Nya yang sempurna merdeka. Gak Ada kekuasaan yang merintangi, gak ada kekuatan yang menghalangi, tak ada sesuatu yang membatasi, sempurna di dalam kekuasaan Nya.
Manusia diciptakan untuk menjadi Khalifah Nya, diberikan akal fikiran dan indera yang lengkap, diutus rasul sebagai teladan, dan kitab suci sebagai panduan, agar tahu kewajibannya. Manusia hidup tidak merdeka bebas menuruti keinginannya. Manusia terikat dengan kewajiban, kepada Tuhan, manusia, dan makhluk lainnya. Ketaatan terhadap kewajiban, akan dicatat sebagai “kebaikan”. Dan pelaku kebaikan, kembali kepada dirinya. Demikian juga pelaku keburukan, ibarat menabur angina, dia akan menunai badai.
Perintah mencari yang berhukum wajib, harus ditempuh kendati jauh jarak, sebenarnya agar kita bisa mengenali “aneka kebaikan” yang mungkin bisa kita lakukan. Hanya dengan ilmu kita melakukan sesuatu dengan benar, baik, bernilai. Orang selalu diberikan ruang luas untuk melakukan kebaikan, sebagian hanya bisa melakukan kebaikan untuk dirinya, sebagian lain meluas untuk keluarga, anak dan isteri, sebagian lain meluas tak terbatas wilayah, dan dibatasi waktu, tak terbatas jumlah.
Banyak orang mengajar satu orang, dan banyak oran yang bisa mengajar jutaan orang, bahkan lintas negara, lintas waktu. Pembedanya, mereka “berilmu” atau tidak. Banyak temuah buah kreatifitas, yang memberikan manfaat pada orang lain dalam jumlah terbatas, dan banyak juga temuan yang bermanfaat untuk jutaan orang, lintas waktu dan tempat ; lampu, alat-alat transportasi, alat komunikasi, dan tehnologi lain. Semuanya itu buah dari ‘Ilmu”
Ketika al-Ghozali membuka kitab utama “Ihza” dan membahas tentang ilmu, tentu menyimpan harapan besar agar kita menterjemah kewajiban hidup, ibadah kepada Allah, menjadi khalifah Nya, dengan melalui “pintu Ilmu”. Dengan itu memungkinkan ibadah kita punya dampak besar terhadap kehidupan, memberikan kebaikan kepada lebih banyak manusia. Dan tentu saja harus dimulai dengan “ilmu Tauhid”, untuk memastikan ilmu yang kita pelajari menjadi bagian pengabdian kepada Allah, dan menjadi jalan (thariqah) untuk untuk membuka tirai yang menutup kedekatan, membuka hijab yang menghalangi pemahaman dan pengenalan.