Info Terbaru
Monday, 16 Jun 2025
  • Vlog Ramadhan Pengasuh Tersedia Pada Kanal Youtube Santri Kita

KEAJAIBAN SEDEKAH

Saturday, 24 May 2025 Oleh : Tim Admin

Oleh: KH. Nurcholis Misbah

Betapa takjub malaikat ketika Allah SWT menciptakan langit dan bumi. “Apakah ada ciptaan-Mu yang lain yang lebih hebat?” tanya malaikat. “Ada,” jawab Tuhan. “Apa itu?” tanya malaikat. “Besi,” jawab Tuhan. “Lantas apa lagi?” tanya malaikat lagi. ‘“Api.” “Lantas apa lagi?” “Air.” “Lantas apa lagi?”  “Lantas apa lagi?” “Angin.” “Masih ada lagikah?” tanya malaikat. “Orang yang bersedekah, merahasiakan, hingga tangan kirinya tidak mengetahui yang diberikan tangan kanannya.”

 Ada tujuh orang yang akan menjadi wali-Nya dan dilindungi saat tanpa perlindungan kecuali perlindungan-Nya. Satu di antaranya adalah orang yang bersedekah dan merahasiakannya. Ikhlas adalah satu dari rahasia Tuhan, dititipkan di hati orang yang dicintai-Nya. Bahkan, para malaikat tak bisa mencatatnya. Maka, ‘puasa’ dikatakan hanya untuk-Nya dan hanya Dia yang akan membalas keikhlasan orang-orang yang berpuasa.

Dalam Al-Qur’an, orang yang membelanjakan hartanya (sedekah, infaq, zakat) dengan ketulusan, akan berbalas berlipat ganda. Al-Qur’an menggambar sebutir biji yang ditebar, kemudian tumbuh tanaman dengan tujuh ranting, masing-masing berbuah 100. Apa yang kita belanjakan untuk kebaikan ‘’Lillahi ta’ala’’ akan berbalas, sesuai dengan apa yang kita lakukan, berlipat dua, berlipat  sepuluh, berlipat seratus, atau berlipat tujuh ratus hingga kelipatan tidak terhitung, tergantung keikhlasan kita.

Hadits tentang niat, para ulama menyebut sepertiga agama. Karena sebagian besar syariat menjelaskan suatu perbuatan akan bernilai atau sia-sia, tergantung niat. Banyak amal yang terlihat besar, ternyata kecil karena buruknya niat. Sebaliknya banyak perbuatan kecil, kemudian Allah menjadi rida juga  disebabkan niat.

Seorang berwasiat kepada keluarganya, “Kalau aku mati jangan dikubur.       Bakar saja dan tebarkan abu tubuhku di lautan.” Wasiat itu dilaksanakan oleh keluarganya. Di hadirat Allah SWT dikumpulkan lagi organ tubuh yang tertiup angin, lalu dihidupkan kembali. Kemudian ditanya, “Apa alasan kamu melakukan itu?” ‘’Aku takut kepada-Mu,” jawabnya. Jawaban itu menyebabkan turunnya ampunan. 

Dikatakan dalam satu hadits, “Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, juga dekat dengan surga. Orang yang bakhil, jauh dari Allah, jauh dari manusia, dan dekat dengan neraka.”

Bagi sebagian orang, memberi adalah sesuatu yang berat. Dia hanya mengingat jerih payah mendapatkannya, merintis dari titik terbawah, mengumpulkan sedikit demi sedikit, hingga ia menjadi kaya raya. Ia merasa ini harus dijaga, dipastikan terus bertambah, terus berlipat. Ia tak  mengenal memberi, selalu menghindar dari kata berkurang. Dia hanya tahu mendapat, menerima, bertambah, dan berlipat.

Dia lupa, bahwa keberhasilannya tak lepas dari pertolongan-Nya, tak lepas dari anugerah-Nya. Ia diberi kesehatan, kesempatan, kecerdasan, teman-teman yang baik, peluang-peluang, dan ide-ide, semuanya karena pemberian-Nya. Keberhasilan, kesuksesan, kegembiraan yang tidak disertai kemauan berbagi, tidak diikuti dengan memberi, berlandas kesadaran, ‘besarnya anugerah Tuhan’, akan menjauhkan dari cahaya Tuhan.

Dia akan berpaling dari fitrahnya, mengimani Allah SWT sebagai Tuhanya. Dia justru mencari Tuhan lain, yang memanjakan nafsu syahwatnya, dan ia menemukan dalam ‘kesenangan’. Itulah awal munculnya cara pandang hedonisme, mereka para pemuja kesenangan. Kendatipun kesenangan itu tak benar-benar mereka dapatkan, tetap saja mereka ‘memujanya’.

Merebaknya cara pandang hedonisme yang dikapitalisasi dengan munculnya berbagai fasilitas; hotel, tempat wisata, dan segala jenis fasilitasnya, narkoba, dan aneka kuliner. Akibatnya, pemuja kesenangan menjadi merasa wajar, biasa, bukan persoalan. Paham hedonisme dengan suka rela kita terima, bersanding dengan agama-agama lain.

Kalau kita temukan, orang membakar dupa di bawah pohon besar, kita akan berteriak syirik, bid’ah. Bahkan, sesama muslim sedikit berbeda dalam amal-amal furu’(cabang), sudah menimbulkan kegaduhan, sering malah saling mengkafirkan.

 Tapi orang berbondong-bondong ke tempat-tempat yang menyenangkan, semisal konser musik, aneka pagelaran, dan pameran. Pada saat yang sama, musala dan masjid menjadi sepi, tempat ibadah menjadi bangunan yang senyap. Tragisnya, justru merasa biasa dan tak muncul ‘alarm bahaya’ di hati kita.

Mari kita jaga anugerah harta benda yang Allah amanahkan, dengan cara mensyukurinya, memanfaatkan sesuai pemberi amanah, untuk hal-hal yang pasti baik, untuk keluarga, untuk orang-orang yang memerlukan, untuk perjuangan menjaga dan menegakkan agama Allah.  Dengan begitu, ‘harta benda’ akan menjadi jalan lapang, jalan cepat untuk menggapai cahaya-Nya,  dan memperoleh rida-Nya. Semoga.